Sektor perdagangan merupakan salah satu pilar perekonomian Indonesia. pent ingnya peran sektor perdagangan terlihat dari peningkatan kont ribusi PDB Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. Nilai tambah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran selama periode 2005- 2008 menunj ukkan peningkatan positif dari tahun ke tahun, yaitu Rp 293,9 t riliun pada tahun 2005, menj adi Rp 363,3 triliun pada tahun 2008. Peranan sektor ini dalam PDB nasional masih tetap tinggi, yaitu 14 persen dari PDB nasional 2008.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Perdagangan 2009-2014 disebutkan bahwa visi dari Kementerian Perdagangan adalah perdagangan sebagai sektor penggerak pertumbuhan, daya saing ekonomi serta pencipta kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Dalam mewujudkan visi tersebut, penguatan daya saing produk-produk Indonesia mutlak diperlukan baik di pasar domestik maupun pasar Internasional.
Dalam perdagangan Internasional, Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang sangat banyak antara lain sumberdaya alam yang berlimpah dan upah tenaga kerja yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Negara kita pun merupakan negara dengan jumlah penduduk besar yang dapat dijadikan pasar potensial bagi produk-produk domestik. Akan tetapi, keunggulan komparatif yang kita miliki tidak diikuti dengan keunggulan kompetitif. Daya saing produk Indonesia masih sangat lemah apabila dibandingkan dengan produk dari negara lain. Indeks daya saing Indonesia yang dirilis oleh Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat 44 dari 139 negara. Di antara negara anggota ASEAN, Indonesia berada pada urutan ke-5 setelah Singapura (3), Malaysia (26), Brunei (28), Thailand (38), dan berada di atas peringkat Vietnam (59), Filipina (85), dan Kamboja (109). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kawasan regional yang memiliki produk/komoditi unggulan yang relatif sama Indonesia masih belum mampu bersaing dengan negara-negara tetangga.
Salah satu hal mendasar yang perlu dibenahi adalah infrastruktur perdagangan. Masih buruknya infrastruktur perdagangan seperti kerusakan jalan/sarana transportasi, kekurangan energi listrik dan gas masih menjadi penyebab utama tingginya biaya produksi. Sektor perdagangan,baik internasional maupun domestik sangat tergantung pada kinerja logistik. Logistik perdagangan yang baik merupakan prasyarat yang sangat penting bagi suatu negara agar memiliki daya saing yang kuat di pasar internasional dan agar pasokan barang dalam pasar domestik dapat terjaga dengan baik.
Sebagai ilustrasi tentang pentingnya peningkatan kinerja logistik nasional adalah kasus banyaknya buah –buah impor yang masuk ke pasar Indonesia. Hal ini disebabkan karena selain biaya produksi di negara asal jauh lebih efisien, ditambah lagi dengan adanya kemudahan dan kemurahan dalam mengirim hasil pertanian tersebut ke luar negeri. Biaya untuk mengirimkan kontainer berisi jeruk dari Shanghai, China ke Jakarta adalah kurang lebih sekitar USD 400 sedangkan untuk mengirimkan kontainer yang sama dari Pontianak ke Jakarta adalah sebesar USD 800.
Oleh karena itu pembenahan sektor logistik merupakan hal penting yang menjadi prioritas pemerintah untuk memperlancar arus barang dan jasa. Penelitian Bank Dunia tentang Logistic Performance Index (LPI) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan 75 dari 155 negara yang disurvey. Diantara negara ASEAN, Malaysia menduduki peringkat paling tinggi yaitu urutan 29. Disusul oleh Thailand di peringkat 35 dan Philipina pada peringkat 44.
Logistic Performance Index mengukur berbagai aspek yang mencerminkan tingkat efisiensi logistik di suatu negara. Terdapat enam dimensi yang mengukur kinerja logistik yang dimaksud dalam LPI yaitu : efisiensi proses “clearance”; kualitas infrastruktur dan transportasi perdagangan; kemudahan memperoleh harga pengiriman yang kompetitif, termasuk kemudahan dalam menyusun jadwal pelayaran; kompetensi logistik dan kualitas jasa logistik, meliputi jasa pergudangan; fasilitas tracking dan tracing (penelusuran dan pencarian), fasilitas ini akan sangat membantu untuk membuat perkiraan kedatangan barang di negara tujuan. Dimensi terakhir dari pengukuran LPI ini adalah ketepatan waktu. Sebuah survei oleh Bank Dunia yang diadakan di Jakarta Trade Expo mendapati bahwa pembeli dari luar negeri tidak terlalu memperhatikan harga produk dari Indonesia. Sebaliknya, perhatian terbesar mereka adalah ketepatan waktu (pengiriman) dan keterandalan (standar dan pengendalian kualitas)[1].
Selain memperkuat daya saing Indonesia di pasar Internasional, pembenahan sistem logistik perdagangan akan memperlancar perdagangan antara pasar-pasar di dalam negeri di berbagai daerah. Logistik perdagangan yang baik akan mengurangi selisih antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehingga mendorong peningkatan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi logistik. Pembenahan sistem logistik juga akan memperkecil disparitas harga barang di pasar-pasar domestik di seluruh wilayah Indonesia dan memperlancar arus perdagangan domestik. Sebagai contoh, harga barang-barang kebutuhan pokok di Indonesia bagian timur bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat harga barang di pulau Jawa.
Menurut penelitian LPEM UI[2], biaya logistik di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 20% dari nilai penjualan produk. Terdapat tiga alasan utama mengapa biaya logistik di Indonesia memiliki share yang besar dari nilai penjualan produk yaitu :
1. Hambatan infrastruktur
2. Peraturan-peraturan yang bersifat membatasi sehingga melemahkan daya saing industri logistik
3. Buruknya kualitas penyedia jasa logistik.
Saat ini pemerintah berusaha meminimalisir hal-hal yang dapat meningkatkan biaya logistik. Hambatan infrastruktur yang merupakan penyebab tingginya biaya logistik diatasi dengan investasi di bidang infrastruktur. Hal ini dapat dilihat pada APBN tahun 2010 yang mengalokasikan dana terbesar untuk investasi di bidang infrastruktur. Pembenahan infrastruktur ini akan membawa dampak pada kelancaran arus barang dan jasa sampai ke tempat yang terpencil, sehingga barang-barang terutama kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah dan selisih harganya tidak terlalu jauh dengan pusat peredaran barang tersebut. Buruknya kualitas infrastruktur yang berimbas pada kemacetan jalan raya dan buruknya kualitas jasa transportasi menuju pelabuhan mengakibatkan sejumlah peti kemas terlambat untuk diangkut sehingga harus menunggu pengapalan berikutnya. Hal ini tentu berdampak pada kemacetan pelabuhan akibat bertumpuknya peti kemas yang terlambat dikirim tersebut.
Sadar akan pentingnya pembenahan sektor logistik perdagangan, pemerintah telah menyusun cetak biru penataan dan pengembangan logistik[3] yang diimplementasikan oleh seluruh kementerian yang berada dalam koordinasi Menko Ekuin. Penyusunan Cetak Biru Sistem Logistik Nasional didasarkan pada Inpres 5/2008 mengenai Fokus Program Tahun 2008-2009 dibawah koordinasi Menko Perekonomian. Dalam cetak biru tersebut disebutkan bahwa visi logistik Indonesia pada tahun 2025 adalah “Terintegrasi Secara Lokal, Terhubung Secara Global” (Locally Integrated, Globally Connected).
Visi tersebut akan dapat dicapai melalui strategi logistik Indonesia yang mengutamakan strategi pada “6 (enam) faktor penentu sektor logistik nasional” yaitu:
- Komoditas penentu
- Peraturan dan perundangan
- Prasarana dan sarana
- Sumberdaya manusia dan manajemen
- Teknologi informasi dan komunikasi
- Penyedia jasa logistik
Terkait dengan cetak biru logistik yang telah disusun oleh pemerintah, Kementerian Perdagangan telah pula menyusun rencana aksi pengembangan sistem logistik nasional meliputi Penyusunan Cetak Biru Sistem Distribusi Komoditas Strategis, Pengembangan pusat-pusat distribusi di Kawasan Timur Indonesia; Harmonisasi peraturanperundang-undangan terkait logistik di pusat maupun daerah; dan Penyederhanaan prosedur dan dokumen perijinan logistik[4].
Bagi perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri, sektor logistik merupakan satu hal yang sangat vital dan merupakan prasyarat mutlak untuk meningkatkan daya saing suatu negara. Buruknya infrastruktur transportasi di Indonesia terbukti telah mengakibatkan arus barang dari produsen ke konsumen menjadi sangat tidak efisien. Oleh karena itu, seyogyanya pemerintah melakukan akselerasi dalam implementasi program kerja yang berkaitan dengan sektor logistik ini. Secara bersama-sama hendaknya dilakukan pembenahan birokrasi terutama dalam penyederhanaan prosedur perijinan, akan lebih baik lagi apabila pelayanan perijinan ini sudah mendapatkan dukungan teknologi informasi sehingga aplikasinya dapat dilakukan secara online di seluruh indonesia. Hal ini tentu akan berimplikasi pada menurunnya biaya ekonomi secara keseluruhan sehingga masyarakat pun menjadi lebih sejahtera dan daya saing Indonesia di pasar internasional menjadi lebih kuat.
[1] Catatan Teknis Pengembangan Perdagangan. Memperbaiki Kinerja Logistik : Salah Satu Tujuan Pembangunan Yang Penting. Edisi I Maret 2010. http://www.worldbank.org/id/fpd
[2] LPEM Universitas Indonesia. 2005. ‘Biaya Logistik di Sektor Manufaktur Indonesia’. Jakarta